Sabtu, 29 September 2012

Hadits menurut kuantitas sanad


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an. Kedudukan hadits sebagai sumber terpenting telah lama menjadi objek kajian para ulama dari masa ke masa hingga kemudian mengkristal dalam disiplin keilmuan tersendiri. Karena sifatnya yang begitu penting, maka mempelajari hadits juga merupakan keharusan bagi setiap muslim.
Disamping memahami dan mengkaji hadits, mempelajari ilmu hadits juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang terkait dengan hadits nabi dari beberapa segi. Dimulai dengan memahami pengertiannya, syarat-syarat, macam-macamnya dan lain-lain.
B.     Tujuan Penulisan Makalah
Adapun makalah ini ditulis untuk menjelaskan tentang
1.      Macam-macam hadits dari segi kuantitasnya.
2.      Pengertian, syarat, dan contoh hadits ditinjau dari segi kuantitasnya.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Macam Hadits dari Segi Kuantitasnya
Macam-macam hadits sangat banyak. Sebagian orang bingung melihat pembagian hadits yang banyak dan beragam tersebut. Kebingungan tersebut menjadi hilang dengan banyaknya buku atau kitab yang menjelaskan pembagian hadits dengan terperinci dan gamblang dari berbagai segi dan sudut pandang.
Hadits dari segi kuantitas jumlah perawi dalam sanad terbagi menjadi dua macam, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.[1] Adapun penjelasan tentang keduanya adalah sebagai berikut.
B.     Hadits Mutawatir
Ada beberapa pendapat yang merumuskan pengertian dari hadits mutawatir dengan kalimat yang berbeda-beda, tetapi maksudnya tetap sama.
1.      Pengertian Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap generasi atau thabaqah, sejak generasi sahabat hingga generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil sepakat untuk berbohong.[2] Sedangkan menurut pendapat lain, hadits mutawatir adalah:[3]
ما رواه جمع عن جمع بلا حصر، بحيث يبلغون حدا تحيل العادة تواطؤَهم على الكذب.
“Hadits yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang banyak, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadits yang diriwayatkan)”.[4]
Dari beberapa definisi hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak, perawi tersebut tidak mungkin bersepakat untuk berbohong tentang hadits tersebut. Tentunya dari penjelasan tersebut dapat di artikan bahwa perawi tersebut sudah tentu kejujurannya.
2.      Syarat Hadits Mutawatir
Sebuah hadits dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir apabila memenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syarat tersebut antara lain:[5]
a.       Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b.      Menurut adat kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c.       Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
Mengenai jumlah periwayat, para ulama’ berbeda pendapat tentang batas minimal jumlah periwayat. Ada yang berpendapat batas minimalnya adalah 5, 7, 10, 12, 20, 40, 50 dan 70.[6]
3.      Macam-macam Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir ada dua, yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Mutawatir lafdzi adalah hadits yang mutawair dalam hal lafal dan maknanya, (ما تواتر لفظه ومعنه). Misalnya:
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوّأ مقعده من النّار
Hadits tersebut menurut Alwiy al-Maliki diriwayatkan oleh 62 sahabat.
Hadits mutawatir ma’nawi ialah hadits yang berbeda bunyi lafalnya dari beberapa jalur periwayatan, tetapi mempunyai kesamaan dalam hal makna, isinya mengandung suatu hal, suatu sifat, atau suatu perbuatan. Misalnya hadits yang menjelaskan tentang Nabi Muhammad mengangkat tangannya ketika berdo’a.[7] Ada sekitar 100 hadits yang menceritakan hal tersebut, tetapi mempunyai versi lafal yang berbeda.[8]
Jalal ad-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi dalam kitabnya Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, mendefinisikan hadits ma’nawi sebagai berikut:
ان ينقل جماعة يستحيل تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفة تشترك في امر.
Hadits yang di nukilkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil merek bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan”.
Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a yang diriwayatkan dalam lebih dari 100 hadits. Meskipun redaksi hadits berlainan tetapi isinya sama. Demikian pula hadits tentang rukyat, bilangan rakaat dalam shalat, membaca al-qur’an dengan nyaring pada waktu shalat maghrib, isya’, subuh, tawaf di baitullah, melempar jumrah, melakuan sya’i, antara shafa dan marwah, dan manasik haji lainnya.[9]  Hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a tersebut adalah:[10]
ما رفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض إبطيه في شيء من دعائه إلا في الإستسقاء
Hadits yang semakna dengan hadits diatas antara lain hadits-hadits yang ditakhrij oleh Imam Ahmad, al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi:
كان يرفع يديه حذو منكبيه
Ada juga yang berpendapat bahwa hadits mutawatir bukan hanya dua. Ada yang menyebutkan bahwa hadits mutawatir ada tiga. Selain dari yang telah disebut, hadits mutawatir amali juga termasuk dari macam hadits mutawatir.
C.    Hadits Ahad
1.      Pengertian Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah hadits yang jumlah rawinya tidak mencapai jumlah mutawatir.[11]
2.      Macam-macam Hadits Ahad
Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits aziz dan hadits gharib.
a.       Hadits Masyhur
Masyhur secara bahasa adalah terkenal, yang dikenal atau popular dikalangan umat manusia. Menurut istilah hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqohnya tetapi tidak sampai pada tingkat mutawatir. Contoh hadits yang masyhur dikalangan masyarakat umum seperti:
العجلة من الشيطان
“terburu-buru termasuk (perbuatan setan)”[12]
b.      Hadits Aziz
Kata aziz menurut bahasa adalah jarang atau sedikit. Menurut istilah hadits aziz adalah hadits yang pada semua tabaqah sanadnya tidak kurang dari dua orang periwayat.[13] Contoh hadits aziz adalah:
عن ابي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يؤمن احدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده والناس اجمعين .
Dari abu hurairah r.a. bahwa rasulullah SAW. Bersabda: ‘tidaklah beriman seseorang diantara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim).[14]
c.       Hadits Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Hadits gharib sama juga dengan hadits fard karena keduanya sinonim. Adapun menurut istilah hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan secara sendirian oleh seorang periwayat. Contoh hadits gharib adalah sebagaimana dituturkan al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان. [15]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hadits dilihat dari segi kuantitas sanadnya dibagi menjadi dua, yaitu Mutawatir dan Ahad.
2.      Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi
3.      Syarat hadits mutawatir antara lain ada tiga, yaitu:
a.       Harus diriwayatkan oleh banyak jalur perawi.
b.      Menurut adat kebiasaan tidak muungkin sepakat berdusta.
c.       Periwayatan yang dilakukan harus berdasarkan panca indra.
4.      Hadits Ahad dibagi menjadi tiga, yaitu Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.




DAFTAR PUSTAKA
Al Hasani, Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. (tanpa tahun).  Al Qowa’id Al Asasiyah Fi Ilmi Mustolah Al Hadits. Makkah: As Shafwah.
Al-Thahhan, Mahmud. 1979. Taysir Mustalah Al-Hadits. Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim.
As-Syahrawi, Ibrahim Dasuki. (tanpa tahun). Musthalah Al-Hadits. Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-Fanniyah Al-Muttahidah.
Hasyim, Ahmad Umar. 1984. Qowa’id Ushululhadits. Beirut: Darul Kitab Al Araby.
Idri. 2010.  Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suryadilaga, M. Alfatih. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel.  2011.  Studi Hadits. Surabaya: IAIN SA Press.
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.


[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits Cet Ii, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 128.
[2] Muh Zuhri, Hadis Nabi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 83.
[3] Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, Al Qowa’id Al Asasiyah Fi Ilmi Mustolah Al Hadits, (Makkah: As Shafwah, t. th), h. 33.
[4] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 131.
[5] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 105.
[6] Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushululhadits, (Beirut: Darul Kitab Al Araby, 1984), h. 143.
[7] M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2010), h. 228.
[8] Ibrahim Dasuki As-Syahrawi, Musthalah Al-Hadits (Mesir: Syirkah At-Thiba’ah Al-Fanniyah Al-Muttahidah, t. th), h. 10.
[9] Idri, Op. Cit., h. 139.
[10] Tim Penyusun MKD, Op. Cit., h. 108.
[11]M. Alfatih Suryadilaga, Op. Cit., h. 229
[12] Idri, Op. Cit., h. 142
[13] Mahmud Al-Thahhan, Taysir Mustalah Al-Hadits. (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1979), h. 26
[14] Idri, Op. Cit., h. 149
[15] Tim Penyusun MKD, Op. Cit., h. 112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu

Pengikut