BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengamati
tren kehidupan yang disisakan oleh ekspansi kapitalisme, yang bukan saja
mencuatkan gaya kehidupan yang materialistic, hedonistik, tetapi juga meniupkan
rasa terancam dan kecemasan dalam masyarakat. Sosok kehidupan yang penuh
kebengisan, kesadisan, moralitas semakin tak berdaya, seakan tak ada lagi
harapan dan cinta. Lantas orang menyimpulkan, modernisme, dipandang gagal
memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Dan pertanyaan yang
pun mencuat, model peradaban yang begaimana lagi yang bakal muncul di hari
esok? Masih adakah tersisa harapan dan cinta di masa datang? Bagi setiap muslim
yang sadar, pasti merasakan gairah dan optimisme dalam menapaki waktu. Biarlah
orang lain terus mengalami himpitan dirinya sendiri, keputus asaan menggerogoti
hidupnya, karena keserakahan telah membunuh benih cinta dan harapannya,
sehingga nurani tak kuasa lagi untuk berbisik asri.
Dalam
perjalanan sejarah spiritualis muslim, terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj
spiritual para sufi, karena jalan itu dirasakan amat mengasikkan. Dalam suasana
transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita baru, realita yang
terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan keserakahan. Dengan
dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam cinta, di alam kemenangan.
Hukum atau syari’at lantas dipandang sebagai perwujudan atau pengejawentahan
secara lahir dari yang batin, sedang yang batin manusia itu adalah iman.[1]
B.
Tujuan Penulisan Makalah
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini ialah
supaya memahami tentang:
1.
Hal
yang melatar belakangi munculnya pergerakan neo-sufisme
2.
Ciri-ciri
neo-sufisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Munculnya Neo-sufisme
Sufisme
terdahulu mencoba mengungkapkan bahwa menempatkan penghayatan keagamaan yang
paling benar adalah pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini
adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih
mementingkan dan mengutamakan batiniyah dan kurang memperhatikan aspek
formal atau lahiriyah. Maka wajar
apabila kaum sufi kurang tertarik dengan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan.[2]
Islam
merupakan agama yang kaffah, memberikan kebebasan dalam penghayatan
keagamaan, baik itu yang lahiri ataupun yang batini. Akan tetapi,
kecenderungan terhadap yang lahiri ini lebih banyak.
Dalam
perjalanan sejarahnya, antara dua kubu penghayatan ini sempat menimbulkan
konflik ketegangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, ahli haqiqat dan ahli
syari’at. Ini terjadi terutama pada abad ke-3 Hijriyah.[3]
Terminology
Neo-sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni
Fazlur Rahman. Menurut Fazlur Rahman perintis apa yang ia sebut dengan
neo-sufisme ialah Ibn Taimiyah (wafat tahun 728 H) yang kemudian dilanjutkan
oleh muridnya Ibn Qoyyim.[4]
Kemunculan
kembali sufisme di abad ke-7 H/13 M menjadi tonggak awal sejarah perkembangan
tradisi Islam dikemudian hari.[5]
Semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad ke-3 H, maka pengaruh
eksternal semakin dirasakan. Di antaranya karena dipengaruhi oleh berbagai
macam corak budaya, akibatnya muncul dua corak pemikiran tasawuf. Di antara dua
corak tersebut ialah corak tasawuf yang materi dasarnya berdasar pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah dengan ide gagasan dasar pembentukan moralitas yang di back up
ulama moderat, dan corak yang satunya ialah tasawuf yang bersumber pada filsafat dengan
kecenderungan tentang materi-materi yang berhubungan antara manusia dengan
Tuhan yang di usung oleh pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman atau
ucapan-ucapannya yang ganjil atau sulit dipahami seperti istilah wahdat al
wujud, hulul dan lain sebagainya.[6]
Demikian
era post modernisme yang ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang
semakin parah dalam aspek kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan
kriminalisasi semakin merajalela. Dua ciri peradaban modern yang paling
fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas, yang disebabkan oleh adanya dua unsur
masyarakat modern ini, maka terbentuklah
mental manusia modern menjadi rasional serta materialistik, karena
materialistik maka manusia modern kemudian cenderung individualistik.[7]
Pada
era pos modernisasi yang penuh dengan kebengisan, kedzalimaan dan keserakahan
yang mengutamakan gaya hidup materialistik dan hedonistik banyak yang
mengkambing hitamkan sufisme sebagai penyebab keterbelakangan. Hal ini yang
melatar belakangi munculnya kebangkitan sufisme di era kontemporer di dunia Islam
yang disebut neo-sufisme. Salah satu tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang
lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip aqidah Islam, dan
penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan ukhrawi. Dengan
demikian seorang ulama bisa merangkum sebagai
ahli syari’ah (fuqaha’) dan sekaligus ahli haqiqah (sufi), karena ciri
neo-sufisme diantaranya adalah merekonsiliasi dan akomodasi antara syariah dan
sufisme terdahulu.[8]
B.
Ciri-ciri Neo-sufisme
Maksud
dari neo-sufisme adalah tipe ajaran tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Seorang sufi
menurut Ibnu Taimiyah adalah seorang yang keras menegakkan kebenaran. Tengah
malam bangun bertahajud, siang hari berusaha. Jika negara dalam keadaan bahaya
oleh serangan musuh, bersedia meninggalkan segala yang merintangi masuk ke
dalam tentara. Dapat dipahami bahwa neo-sufisme lahir guna meluruskan sufisme terdahulu
yang terlalu diwarnai unsur-unsur falsafi dan kaum sufinya tenggelam dalam
kegiatan-kegiatan ritual yang seakan melepaskan dirinya dari syariat dan panggilan
hidup duniawi. Di sisi lain, neo-sufisme juga ingin memberi warna tasawuf dalam
kehidupan yang serba glamour dan materialistis. Ciri-ciri neo-sufisme ini pada
dasarnya masih terkait dengan sufisme klasik yang muncul terdahulu. Hal ini
dapat dilihat dalam rincian berikut: [9]
1.
Kelahiran sufisme klasik dan kebangkitan
neo-sufisme dimotivasi
oleh faktor-faktor yang sama, yaitu gaya hidup glamour, materialistisk,
konsumeristik sebagai imbas kegarangan rasionalisme dan kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan.
oleh faktor-faktor yang sama, yaitu gaya hidup glamour, materialistisk,
konsumeristik sebagai imbas kegarangan rasionalisme dan kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan.
2.
Kesucian jiwa rohaniah, bahwa keduanya
menekankan urgensi
kebeningan dan kesucian hati dalam segala aspek kehidupan.
kebeningan dan kesucian hati dalam segala aspek kehidupan.
3.
Pendekatan esoteri, yaitu sama-sama
berkeyakinan bahwa pemahaman
keagamaan harus dihayati melalui pendekatan esoteris, pengalaman
metafisis dan al-kasyf.
keagamaan harus dihayati melalui pendekatan esoteris, pengalaman
metafisis dan al-kasyf.
4.
Dhikrullah dan muraqabah sama-sama penting
untuk mencapai
keridhaan Ilahi.
keridhaan Ilahi.
5.
Sikap uzlah, menurut neo-sufisme diperlukan
sewaktu diperlukan saja
sekedar menyegarkan wawasan melalui muhasabah. Dalam sufisme
klasik dilakukan uzlah total.
sekedar menyegarkan wawasan melalui muhasabah. Dalam sufisme
klasik dilakukan uzlah total.
6.
Zuhd, menurut neo-sufisme kehidupan dunia tetap
harus
diperjuangkan, tapi disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi. Dalam
sufisme klasik dunia harus dibenci karena menghalangi pencapaian
tujuan hidup yang sempurna.
diperjuangkan, tapi disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi. Dalam
sufisme klasik dunia harus dibenci karena menghalangi pencapaian
tujuan hidup yang sempurna.
Jadi neo-sufisme
berusaha membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah
dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus
sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at. Karena Abu ‘Abbas bin Ahmad menjelaskan bahwa barang siapa yang membiasakan dalam dirinya berperilaku yang sesuai dengan syari’at, maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kedudukan yang lebih utama (mulia) disbandingkan dengan mengikuti (Nabi Muhammad) SAW di dalam perintah-perintahnya, perbuatan-perbuatan dan akhlak-akhlaknya.[10]
dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus
sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at. Karena Abu ‘Abbas bin Ahmad menjelaskan bahwa barang siapa yang membiasakan dalam dirinya berperilaku yang sesuai dengan syari’at, maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kedudukan yang lebih utama (mulia) disbandingkan dengan mengikuti (Nabi Muhammad) SAW di dalam perintah-perintahnya, perbuatan-perbuatan dan akhlak-akhlaknya.[10]
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa sufisme juga tidak boleh lepas dengan syari’at, karena suatu perbuatan
yang tanpa mengikuti sunnah Rosulullah itu ialah batil. Tapi tidak boleh pula
kita menuduh semua ahli tasawuf dahulu sebagai orang yang sesat, karena
imam-imam tasawuf seperti Junaid, Hasan al-Bashri, Bisrul Hafi, dan Sahal
at-Tastari yang kata-katanya dijadikan hujjah oleh ulama kekinian. Maka penerapan neo-sufisme yang berusaha memadukan
antara ajaran tasawuf dahulu dengan syari’at, sosial kemasyarakatan akan lebih
bisa diterima dan diterapkan di zaman kontemporer ini. karena peribadatan
kepada ilahi bukan saja diterapkan dengan batiniyah saja tapi juga perlu adanya
sosial kemasyarakatan. Seperti yang dikatakan ahli tasawuf Sa’di “pelayanan kepada sesama adalah seluruh
peribadatan. Peribadatan kepada Tuhan tidak dilakukan (hanya) dengan
manik-manik tasbih, jubah kesalehan, atau sajadah”.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Latar belakang munculnya neo-sufisme adalah karena
era post modernisme yang ditandai dengan munculnya krisis demi
krisis yang semakin parah dalam aspek kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan
kriminalisasi semakin merajalela. Dua ciri peradaban modern yang paling
fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas, yang disebabkan oleh adanya dua
unsur masyarakat modern ini, maka terbentuklah
mental manusia modern menjadi rasional serta materialistik, karena
materialistik maka manusia modern kemudian cenderung individualistik,
mengutamakan gaya hidup materialistik dan hedonistik banyak yang mengkambing
hitamkan sufisme sebagai penyebab keterbelakangan. Maka oleh sebab inilah
muncul neo-sufisme.
2.
Ciri
utama neo-sufisme ialah membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah
dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus
sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at.
dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus
sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at.
Daftar Pustaka
Al
Hasani, Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. (Tanpa Tahun). Mafahimu
Yajibu ‘an Tashohhaha. Malang: As Shoffah.
Amal, Taufiq Adnan. (1987). Neomodernisme
Islam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.
Bahri,
Media Zainul. (2010). Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlangga.
Irzu.
“Pengertian Neo-sufisme”. Diakses dari http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2239125-pengertian-neo-sufisme/#ixzz1rotVLLNv. Pada Tanggal 15 Desember
2011.
M, Abdul
Hadi W. (2004). Hermeneutika Estetika dan Religiusitas. Yogyakarta:
Mentari.
Roudlon.
(2003). Sufisme Ibnu ‘Atha’illah. Surabaya: Risalah Gusti.
Siregar,
Rivay. (1999). Tasawuf: Dari Sufi Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
[1] Abdul Hadi
W.M., Hermeneutika Estetika dan Religiusitas (Yogyakarta: Mentari,
2004), h.15.
[2] A. Rivay
Siregar, Tasawuf: Dari Sufi Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1999), h. 245.
[5] Roudlon, Sufisme
Ibnu ‘Atha’illah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 4
[6] Taufiq Adnan
Amal, Op. Cit., h. 3.
[7] Media Zainul
Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 73
[8] A. Rivay
Siregar, Op. Cit., h. 250
[9]
Irzu, Pengertian Neo-sufisme, Diakses pada Tanggal 15 Desember 2011, dari http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2239125-pengertian-neo-sufisme/#ixzz1rotVLLNv
[10] Sayyid Ahmad
bin Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, Mafahimu Yajiibu ‘an
Tashohhaha, (Malang: As Shoffah, tth.), h. 118.
[11] Media Zainul
Bahri, Op. Cit., h. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar