Sabtu, 29 September 2012

neosufisme


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengamati tren kehidupan yang disisakan oleh ekspansi kapitalisme, yang bukan saja mencuatkan gaya kehidupan yang materialistic, hedonistik, tetapi juga meniupkan rasa terancam dan kecemasan dalam masyarakat. Sosok kehidupan yang penuh kebengisan, kesadisan, moralitas semakin tak berdaya, seakan tak ada lagi harapan dan cinta. Lantas orang menyimpulkan, modernisme, dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Dan pertanyaan yang pun mencuat, model peradaban yang begaimana lagi yang bakal muncul di hari esok? Masih adakah tersisa harapan dan cinta di masa datang? Bagi setiap muslim yang sadar, pasti merasakan gairah dan optimisme dalam menapaki waktu. Biarlah orang lain terus mengalami himpitan dirinya sendiri, keputus asaan menggerogoti hidupnya, karena keserakahan telah membunuh benih cinta dan harapannya, sehingga nurani tak kuasa lagi untuk berbisik asri.
Dalam perjalanan sejarah spiritualis muslim, terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu dirasakan amat mengasikkan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita baru, realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan keserakahan. Dengan dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam cinta, di alam kemenangan. Hukum atau syari’at lantas dipandang sebagai perwujudan atau pengejawentahan secara lahir dari yang batin, sedang yang batin manusia itu adalah iman.[1]

B.     Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini  ialah supaya memahami tentang:
1.      Hal yang melatar belakangi munculnya pergerakan neo-sufisme
2.      Ciri-ciri neo-sufisme.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Munculnya Neo-sufisme
Sufisme terdahulu mencoba mengungkapkan bahwa menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar adalah pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mementingkan dan mengutamakan batiniyah dan kurang memperhatikan aspek formal atau lahiriyah. Maka wajar  apabila kaum sufi kurang tertarik dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.[2]
Islam merupakan agama yang kaffah, memberikan kebebasan dalam penghayatan keagamaan, baik itu yang lahiri ataupun yang batini. Akan tetapi, kecenderungan terhadap yang lahiri ini lebih banyak.
Dalam perjalanan sejarahnya, antara dua kubu penghayatan ini sempat menimbulkan konflik ketegangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, ahli haqiqat dan ahli syari’at. Ini terjadi terutama pada abad ke-3 Hijriyah.[3]
Terminology Neo-sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Menurut Fazlur Rahman perintis apa yang ia sebut dengan neo-sufisme ialah Ibn Taimiyah (wafat tahun 728 H) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qoyyim.[4]
Kemunculan kembali sufisme di abad ke-7 H/13 M menjadi tonggak awal sejarah perkembangan tradisi Islam dikemudian hari.[5] Semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad ke-3 H, maka pengaruh eksternal semakin dirasakan. Di antaranya karena dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya, akibatnya muncul dua corak pemikiran tasawuf. Di antara dua corak tersebut ialah corak tasawuf yang materi dasarnya berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ide gagasan dasar pembentukan moralitas yang di back up ulama moderat, dan corak yang satunya ialah tasawuf  yang bersumber pada filsafat dengan kecenderungan tentang materi-materi yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan yang di usung oleh pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman atau ucapan-ucapannya yang ganjil atau sulit dipahami seperti istilah wahdat al wujud, hulul dan lain sebagainya.[6]
Demikian era post modernisme yang ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang semakin parah dalam aspek kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan kriminalisasi semakin merajalela. Dua ciri peradaban modern yang paling fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas, yang disebabkan oleh adanya dua unsur masyarakat modern ini, maka terbentuklah  mental manusia modern menjadi rasional serta materialistik, karena materialistik maka manusia modern kemudian cenderung individualistik.[7]
Pada era pos modernisasi yang penuh dengan kebengisan, kedzalimaan dan keserakahan yang mengutamakan gaya hidup materialistik dan hedonistik banyak yang mengkambing hitamkan sufisme sebagai penyebab keterbelakangan. Hal ini yang melatar belakangi munculnya kebangkitan sufisme di era kontemporer di dunia Islam yang disebut neo-sufisme. Salah satu tujuan neo-sufisme adalah penekanan yang lebih intens pada penguatan iman sesuai dengan prinsip aqidah Islam, dan penilaian terhadap kehidupan duniawi sama pentingnya dengan ukhrawi. Dengan demikian  seorang ulama bisa merangkum sebagai ahli syari’ah (fuqaha’) dan sekaligus ahli haqiqah (sufi), karena ciri neo-sufisme diantaranya adalah merekonsiliasi dan akomodasi antara syariah dan sufisme terdahulu.[8]
B.     Ciri-ciri Neo-sufisme
Maksud dari neo-sufisme adalah tipe ajaran tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Seorang sufi menurut Ibnu Taimiyah adalah seorang yang keras menegakkan kebenaran. Tengah malam bangun bertahajud, siang hari berusaha. Jika negara dalam keadaan bahaya oleh serangan musuh, bersedia meninggalkan segala yang merintangi masuk ke dalam tentara. Dapat dipahami bahwa neo-sufisme lahir guna meluruskan sufisme terdahulu yang terlalu diwarnai unsur-unsur falsafi dan kaum sufinya tenggelam dalam kegiatan-kegiatan ritual yang seakan melepaskan dirinya dari syariat dan panggilan hidup duniawi. Di sisi lain, neo-sufisme juga ingin memberi warna tasawuf dalam kehidupan yang serba glamour dan materialistis. Ciri-ciri neo-sufisme ini pada dasarnya masih terkait dengan sufisme klasik yang muncul terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam rincian berikut: [9]
1.      Kelahiran sufisme klasik dan kebangkitan neo-sufisme dimotivasi
oleh faktor-faktor yang sama, yaitu gaya hidup glamour, materialistisk,
konsumeristik sebagai imbas kegarangan rasionalisme dan kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan.
2.      Kesucian jiwa rohaniah, bahwa keduanya menekankan urgensi
kebeningan dan kesucian hati dalam segala aspek kehidupan.
3.      Pendekatan esoteri, yaitu sama-sama berkeyakinan bahwa pemahaman
keagamaan harus dihayati melalui pendekatan esoteris, pengalaman
metafisis dan al-kasyf.
4.      Dhikrullah dan muraqabah sama-sama penting untuk mencapai
keridhaan Ilahi.
5.      Sikap uzlah, menurut neo-sufisme diperlukan sewaktu diperlukan saja
sekedar menyegarkan wawasan melalui muhasabah. Dalam sufisme
klasik dilakukan uzlah total.
6.      Zuhd, menurut neo-sufisme kehidupan dunia tetap harus
diperjuangkan, tapi disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi. Dalam
sufisme klasik dunia harus dibenci karena menghalangi pencapaian
tujuan hidup yang sempurna.
Jadi neo-sufisme berusaha membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah
dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus
sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at. Karena Abu ‘Abbas bin Ahmad menjelaskan bahwa barang siapa yang membiasakan dalam dirinya berperilaku yang sesuai dengan syari’at, maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kedudukan yang lebih utama (mulia) disbandingkan dengan mengikuti (Nabi Muhammad) SAW di dalam perintah-perintahnya, perbuatan-perbuatan dan akhlak-akhlaknya.[10] 
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sufisme juga tidak boleh lepas dengan syari’at, karena suatu perbuatan yang tanpa mengikuti sunnah Rosulullah itu ialah batil. Tapi tidak boleh pula kita menuduh semua ahli tasawuf dahulu sebagai orang yang sesat, karena imam-imam tasawuf seperti Junaid, Hasan al-Bashri, Bisrul Hafi, dan Sahal at-Tastari yang kata-katanya dijadikan hujjah oleh ulama kekinian.  Maka penerapan neo-sufisme yang berusaha memadukan antara ajaran tasawuf dahulu dengan syari’at, sosial kemasyarakatan akan lebih bisa diterima dan diterapkan di zaman kontemporer ini. karena peribadatan kepada ilahi bukan saja diterapkan dengan batiniyah saja tapi juga perlu adanya sosial kemasyarakatan. Seperti yang dikatakan ahli tasawuf  Sa’di “pelayanan kepada sesama adalah seluruh peribadatan. Peribadatan kepada Tuhan tidak dilakukan (hanya) dengan manik-manik tasbih, jubah kesalehan, atau sajadah”.[11]



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Latar belakang munculnya neo-sufisme adalah karena era post modernisme yang ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang semakin parah dalam aspek kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan kriminalisasi semakin merajalela. Dua ciri peradaban modern yang paling fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas, yang disebabkan oleh adanya dua unsur masyarakat modern ini, maka terbentuklah  mental manusia modern menjadi rasional serta materialistik, karena materialistik maka manusia modern kemudian cenderung individualistik, mengutamakan gaya hidup materialistik dan hedonistik banyak yang mengkambing hitamkan sufisme sebagai penyebab keterbelakangan. Maka oleh sebab inilah muncul neo-sufisme.
2.      Ciri utama neo-sufisme ialah membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah
dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus
sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at.











Daftar Pustaka
Al Hasani, Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. (Tanpa Tahun). Mafahimu Yajibu ‘an Tashohhaha. Malang: As Shoffah.
Amal, Taufiq Adnan. (1987). Neomodernisme Islam Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.
Bahri, Media Zainul. (2010). Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Erlangga.
Irzu. “Pengertian Neo-sufisme”. Diakses dari http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2239125-pengertian-neo-sufisme/#ixzz1rotVLLNv. Pada Tanggal  15 Desember 2011.
M, Abdul Hadi W. (2004). Hermeneutika Estetika dan Religiusitas. Yogyakarta: Mentari.
Roudlon. (2003). Sufisme Ibnu ‘Atha’illah. Surabaya: Risalah Gusti.
Siregar, Rivay. (1999). Tasawuf: Dari Sufi Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.




[1] Abdul Hadi W.M., Hermeneutika Estetika dan Religiusitas (Yogyakarta: Mentari, 2004), h.15.
[2] A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufi Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h. 245.
[3] Taufiq Adnan Amal, Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1987), h. 2.
[4] A. Rivay Siregar, Op. Cit., h. 248
[5] Roudlon, Sufisme Ibnu ‘Atha’illah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 4
[6] Taufiq Adnan Amal, Op. Cit., h. 3.
[7] Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 73
[8] A. Rivay Siregar, Op. Cit., h. 250
[9] Irzu, Pengertian Neo-sufisme, Diakses pada Tanggal  15 Desember 2011, dari http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2239125-pengertian-neo-sufisme/#ixzz1rotVLLNv

[10] Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, Mafahimu Yajiibu ‘an Tashohhaha, (Malang: As Shoffah, tth.), h. 118.
[11] Media Zainul Bahri, Op. Cit., h. 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages - Menu

Pengikut